Tepat waktu. Sesampainya, aku langsung menaiki anak tangga yang
terpaku di pohon besar, di hadapanku. Segesit mungkin aku mencari posisi
ternyaman untukku duduk. Hanya tinggal seperempat jam lagi, matahari
akan turun ke habitatnya. Mengusaikan pekerjaannya hari ini.
Sedikit-sedikit gundukan awan di langit sana memerah, menanarkan
warna lembayung senja. Bola mataku merekam kejadian indah itu. Di saat
warna merah memudar menjadi jingga. Kukeluarkan sebuah voice recorder.
“Aku mencintai senja. Aku mencintaimu. Tak akan ada yang bisa menalarkan
untaian kata indah tentangmu. Yang ku tahu senja adalah kamu.” Aku
mendengarkan setiap ucapan yang terdengar dari benda tersebut.
“Aku mencintaimu juga. Sekarang aku melihat senyummu di lembayung itu.
Kau pasti bahagia telah bersatu dengan senja.” ucapku berbisik,
berbicara sendiri. Mungkin hanya voice recorder itu yang menjadi
pendengar bisu dari curahan hatiku yang ku semburkan.
Aku mendengar percakapan dalam voice recorder itu. Pilu ketika mendengarnya, air mataku menitik jatuh tanpa diminta.
“Aku nggak mau melepasmu seberapa pun ketidaksempurnaan aku.” terdengar suara Riko dari dalam voice recorder.
“Jangan bicara soal itu, Riko! Kamu selamanya sempurna. Disini… Di hati aku…”
“Kamu tahu tidak? Bibir itu terlalu mudah berbicara. Pernyataan bibir
itu tak pernah sesuai dengan kenyataan. Tapi untuk perkataanmu, aku
percaya. Dan aku harap kamu jujur.”
“Love you..” kataku menyambar. Mendengar semua percakapan tadi, hatiku tak mampu membendung nestapa.
Dua bulan Riko pergi dari bumi ini, kaki-kakinya tak lagi berpijak
pada bumi. Riko membawa album kenangan yang tak mungkin kembali. Senyap.
Setiap matahari tenggelam, aku selalu hadir di tempat ini. Di rumah
pohon milik Riko. Perlakuanku yang seperti ini terus menerus terjadi,
setiap hari, hanya untuk menepati janjiku pada Riko, untuk selalu
menjaga ‘si kecil’ kami. Senja. Matahari yang warnanya memias, itulah
sosok yang dikagumi Riko. Aku pun tertarik pada hal yang sama dengannya.
Butir air mataku terbingkai di sudut mata. Riko, satu-satunya
alasanku atas lamunan yang setiap detik aku lakukan. Aku selalu
melamunkan kehadirannya. Dia membawa kabur kebahagiaanku. Meninggalkan
sekotak besar rindu. Aku masih tak tahu sampai kapan akan berhenti
menunggu, padahal sebenarnya ia tak akan pernah kembali. Aku masih belum
bosan duduk di rumah pohon ini, sembari memandangi semburat indah
lembayung senja.
“Ariiin!” teriak seseorang memanggil namaku. Aku menoleh.
“Rio? Kenapa bisa disini?”
“Ikatan batin, mungkin?”
“Haha… Ayoo, pulaaang”
Aku turun dari rumah pohon segesit mungkin. Sampai di anak tangga
terakhir, aku melompat lalu menyambar lengan Rio. Aku menenggelamkan
mukaku di bahunya. Rio merangkulkan tangannya di pundakku. Kami saling
berangkulan. Kami berpelukan. Aku merasa berdosa karena sudah
memagarinya dengan kebohongan yang aku buat, sekian lama ini. Tapi
mencintai Riko di belakang Rio bukan sebuah kesalahan selama 6 bulan ke
belakang, bagiku.
Aku bahagia, ahhh sudah, aku saja benar-benar tidak tahu
mendeskripsikan rasa cintaku pada Riko, yang tercipta di balik
hubunganku dengan Rio. Riko sudah pergi duluan sebelum sempat membongkar
semuanya, seperti yang akan kami wujudkan, tapi gagal. Biarlah keadaan
ini jadi kenangan yang menyelimutiku.
Wajah sore memias tertutupi gelap malam yang tak sabar datang. Aku
menyeka air mata yang menyeruak keluar. Lembap membasahi jaket Rio yang
terkena air mata. Lembap, karena wajahku terbenam dalam dada bidang Rio.
Dia tak banyak bicara, apa lagi tanya, dia hanya diam dan membiarkanku
merasa puas tenggelam dipelukannya. Aku mencintaimu… Rioo… Rikooo…
Cerpen Karangan: Beryl Kathryn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar